Kita akan menjelaskan surah Al-Falaq. Namun, ada pelajaran penting di dalamnya dari surah ini, karena di antara sebab turunnya (asbabun nuzul) surah Al-Falaq dan surah An-Naas menurut sebagian ulama adalah karena disihirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Labid bin Al-A’sham, seorang Yahudi. Dari sinilah kita akan tahu bagaimana cara menangkal sihir tadi.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (1) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (2) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (3) وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (4) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (5)
(yang artinya) :
1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,
2. dari kejahatan makhluk-Nya,
3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
4. dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul ,
5. dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”. (QS. Al-Falaq: 1-5)
ASBABUN NUZUL
Imam Jalaluddin Al-Mahalli rahimahullah menyebutkan, “Surah Al-Falaq ini adalah surah Makkiyah atau Madaniyah, terdiri dari lima ayat. Surah ini dan surah An-Naas turun berkenaan dengan sihir yang dilakukan oleh Labid bin Al-A’sham Al-Yahudi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tali busur, di situ ada sebelas ikatan. Allah memberitahukan tentang sihir tersebut dan menjelaskan tempatnya. Lalu dihadirkanlah ikatan tadi di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diperintahkan membaca bacaan perlindungan (ta’awudz) dengan menyebut dua surah (surah Al-Falaq dan surah An-Naas). Ketika dibacakan satu ayat, dari kedua surah tadi, lepaslah satu ikatan, lalu terasa ringan, hingga terlepas seluruh ikatan. Lalu beliau berdiri dalam keadaan bersemangat setelah terlepas dari seluruh ikatan.” (Tafsir Al-Jalalain, hlm. 615)
Catatan:
Pertama: Apakah surah Al-Falaq dan An-Naas termasuk dalam surah Madaniyah atau Makkiyah, ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kedua surah tersebut termasuk surah Makkiyah. Namun, kebanyakan ulama mengatakan bahwa keduanya termasuk surah Madaniyah. Ibnu ‘Abbas dan Qatadah punya dua pendapat dalam hal ini. Lihat At-Tafsir wa Al-Bayan li Ahkam Al-Qur’an, 4:2229.
Kedua: Di dalam Aysar At-Tafaasir (5:630) disebutkan bahwa Labid bin Al-A’sham Al-Yahudi di Madinah pernah menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas turunlah surah Al-Mu’awwidzatain (surah Al-Falaq dan surah An-Naas). Jibril ‘alaihis salam lantas meruqyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Allah memberikan kesembuhan.
Ada bacaan ruqyah yang pernah dibacakan Jibril ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit seperti pada hadits berikut ini.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Jibril pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau sakit?” Beliau menjawab, “Iya, benar.” Jibril lalu mengucapkan,
بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيْكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ اللهُ يَشْفِيْكَ، بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ
“BISMILLAAHI ARQIIKA MIN KULLI SYAI’IN YU’DZIIKA, MIN SYARRI KULLI NAFSIN AW ‘AINI HAASIDIN. ALLAAHU YASY-FIIKA BISMILLAAHI ARQIIKA. (Artinya: Dengan nama Allah aku meruqyahmu, dari segala sesuatu yang mengganggumu, dan dari keburukan penyakit ‘ain yang timbul dari pandangan mata orang yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku meruqyahmu).” (HR. Muslim, no. 2186. Lihat bahasan di Al-Bahr Al-Muhith Ats-Tsajaj fii Syarh Shahih Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, 35:704-706)
Dari hadits di atas terdapat pelajaran:
- Boleh menggunakan ruqyah syar’iyyah, bisa jadi berasal dari ayat Al-Qur’an, dzikir dengan bahasa Arab, lebih-lebih lagi bacaan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Hasad (benci pada nikmat orang lain) bisa punya pengaruh.
- ‘Ain (pandangan lantaran takjub atau tidak suka, pen.) itu benar adanya dan bisa membawa dampak jelek.
- Dibolehkan untuk ruqyah jika ada yang terkena penyakit dan sudah terjadi.
- Disunnahkan meruqyah dengan menyebut nama Allah.
- Jibril meruqyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal ada hadits yang menyebutkan orang yang masuk surga tanpa hisab adalah mereka yang tidak melakukan ruqyah. Komprominya adalah kita katakan bahwa ruqyah yang diperintahkan untuk ditinggalkan yaitu ruqyah yang di dalamnya terdapat kalimat kekafiran. Begitu pula termasuk ruqyah yang bermasalah adalah ruqyah yang tidak jelas dari bahasa non-Arab, juga ruqyah yang tidak diketahui maknanya. Inilah yang tercela. Ada juga yang mengatakan bahwa yang lebih afdal adalah meninggalkan ruqyah dan tawakal kepada Allah, tetapi hukum ruqyahnya masih boleh.
Lihat bahasan dalam Al-Bahr Al-Muhith Ats-Tsajaj Syarh Shahih Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, 35:701-703.
NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM PERNAH DISIHIR
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ يُقَالُ لَهُ لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ حَتَّى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ كَانَ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَمَا فَعَلَهُ حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ أَوْ ذَاتَ لَيْلَةٍ وَهُوَ عِنْدِي لَكِنَّهُ دَعَا وَدَعَا ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ أَشَعَرْتِ أَنَّ اللَّهَ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ أَتَانِي رَجُلَانِ فَقَعَدَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيَّ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ مَا وَجَعُ الرَّجُلِ فَقَالَ مَطْبُوبٌ قَالَ مَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ قَالَ فِي أَيِّ شَيْءٍ قَالَ فِي مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ وَجُفِّ طَلْعِ نَخْلَةٍ ذَكَرٍ قَالَ وَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِي بِئْرِ ذَرْوَانَ فَأَتَاهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَجَاءَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ كَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ أَوْ كَأَنَّ رُءُوسَ نَخْلِهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا اسْتَخْرَجْتَهُ قَالَ قَدْ عَافَانِي اللَّهُ فَكَرِهْتُ أَنْ أُثَوِّرَ عَلَى النَّاسِ فِيهِ شَرًّا فَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleh seseorang dari bani Zuraiq yang bernama Labid bin Al-A’sham, sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salllam dibuat membayangkan seolah-olah beliau melakukan sesuatu padahal beliau tidak berbuat apa-apa. Sampai pada suatu hari atau pada suatu malam ketika beliau berada di sisiku, tetapi beliau terus berdoa dan berdoa. Kemudian beliau bersabda, “Wahai Aisyah, apakah kamu tahu bahwa Allah telah memberikan jawaban kepadaku tentang apa yang aku tanyakan kepada-Nya tentang sihir? Ada dua orang yang mendatangiku, satu di antaranya duduk di dekat kepalaku dan yang satunya lagi berada di dekat kakiku.” Lalu salah seorang di antara keduanya berkata kepada temannya, “Sakit apa orang ini?” “Terkena sihir”, sahut temannya. “Siapa yang telah menyihirnya?”, tanya temannya lagi. Temannya menjawab, “Labid bin Al-A’sham.” Ditanya lagi, “Dalam bentuk apa sihir itu?” Dia menjawab, “Pada sisir dan rontokan rambut ketika disisir, dan kulit mayang kurma jantan.” “Lalu, di mana semuanya itu berada?”, tanya temannya. Dia menjawab, “Di sumur Dzarwan.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi sumur itu bersama beberapa orang sahabat beliau. Lalu, beliau datang dan berkata, “Wahai Aisyah, seakan-akan airnya berwarna merah seperti perasan daun pacar, dan seakan-akan kulit mayang kurmanya seperti kepala setan.” Lalu kutanyakan, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau meminta dikeluarkan?” Beliau menjawab, “Allah telah menyembuhkanku, sehingga aku tidak ingin memberi pengaruh buruk kepada umat manusia dalam hal itu. Kemudian beliau memerintahkan untuk menimbunnya, maka semuanya pun ditimbun dengan segera.” (HR. Bukhari, no. 5763 dan Muslim, no. 2189)
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam Zaad Al-Ma’ad (4:113-114), “Pasal: Tentang petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengobati sihir ketika beliau disihir oleh seorang Yahudi. Sebagian kalangan mengingkari perihal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir ini. Sebagian mereka menyatakan bahwa tidak pantas hal itu terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyangka bahwa itu suatu kekurangan dan aib. Padahal sejatinya itu bukan kekurangan dan aib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa saja tertimpa sakit. Sihir ini sama halnya dengan penyakit yang datang. Sihir yang terkena itu sama halnya dengan racun, tak ada bedanya. Ada hadits dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir sampai dibayangkan padanya istrinya itu datang. Padahal kenyataannya tidak demikian. Ini bukan sihir biasa.”
Ibnul Qayyim rahimahullah masih melanjutkan, “Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Sihir itu termasuk penyakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sah-sah saja menderita sakit sebagaimana beliau terkena penyakit lainnya. Itu tidak ada yang mengingkari. Hal itu bukanlah cela pada kenabian beliau. Adapun keadaan beliau yang membayangkan melakukan sesuatu padahal beliau tidaklah melakukannya, ini tidaklah menjadi aib dalam hal kemaksuman beliau yang dinyatakan dalam dalil bahkan ijmak (kata sepakat ulama).”
Semoga bermanfaat.
Baca Juga:
Referensi:
- Al-Bahr Al-Muhith Ats-Tsajaj Syarh Shahih Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Muhammad bin ‘Ali Al-Itiyubia. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- At-Tafsir wa Al-Bayan li Ahkam Al-Qur’an. Cetakan pertama, Tahun 1438 H. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath-Tharifi. Maktabah Dar Al-Minhaj. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
- Aysar At-Tafasir li Kalam Al-‘Ali Al-Kabir. Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi. Penerbit Darus Salam.
- At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
- Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H.Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerbit Darus Salam.
Diselesaikan di Perpus Darush Sholihin, 13 Dzulqa’dah 1441 H, 4 Juli 2020
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com